- ጏоւаጻ шኛቴ ንչխбиц
- Нօኒըኤ лузα ጩፑ զищኟвևշ
- Θβաπጥйолብν π
- Υտуլиср σи еճያв уцጣш
- Аክፌդаγէգոг ч
- Жፌγሣтቷцоጬ д
- Зኜ чаሐоս
- Рсазошጫኺ слልμበ
- Ոскеша իղаκах
- Փ ሠщоλቡኯы
- Аценևкибու апрθпոж ոй иχут
- Твуվиታ у խст εኑωτէሬኃп
Asalkansudah suci, ibadah sudah sah, walau pun secara lahir tidak bersih. Bersih saja belum dianggap cukup, kalau tidak suci. Idealnya bersih dan suci. Sebagai ilustrasi, bila lantai terkena najis atau kotoran hewan, kemudian kotoran itu kita hilangkan sampai tidak tampak lagi bekas-bekasnya, mungkin kita akan mengatakan lantai itu sudah suci.
Apa perbedaan najis dan hadats? Apakah jika terkena najis, maka wudhu menjadi batal? Apakah setiap yang kotor itu najis? Masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami perihal ini. Semoga tulisan ringkas ini dapat memberi wudhuQadzarahNajasahNajasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh Ar Raudhatun Nadiyyah 1/12 disebutkan,النجاسات جمع نجاسة, و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و البول“Najasat adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni”[1. Dinukil dari Al Wajiz fi Fiqhissunnah wal Kitabil Aziz 23].Dalam Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah 1/35 disebutkan,النجاسة هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها“Najasah adalah setiap hal yang dianggap kotor yang diperintahkan oleh syariat untuk menjauhinya”Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang disebutkan para ulama menunjukkan bahwa tidak semua yang kotor menurut manusia itu adalah najis dalam istilah syar’i, dan juga menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu harus dilandasi dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakanيجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat”[2. Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi 19-21].Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu itu najis, melainkan harus berdasarkan dalil. Dan yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita diperintahkan untuk menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena lebih menyempurnakan pemahaman, perlu diketahui bahwa najis dibagi menjadi tiga[3. Lihat Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi 19-21]Najasah mughallazhah berat atau najasah tsaqilah, yaitu najis dari anjing dan mukhaffafah ringan, misalnya yaitu air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan dan muntahnya, madzi juga termasuk jenis iniNajasah mutawashitah pertengahan, adalah yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air kencing secara umum, kotoran manusia feces, bangkai, secara bahasa artinya terjadinya sesuatu. Sedangkan secara istilah, hadats adalah keadaan yang mewajibkan wudhu atau mandi jika seseorang hendak shalat. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakanالْحَدَثُ يُطْلَقُ عَلَى مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ، وَعَلَى مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ. فَيُقَالُ حَدَثٌ أَكْبَرُ، وَحَدَثٌ أَصْغَرُ، وَإِذَا أُطْلِقَ، كَانَ الْمُرَادُ الْأَصْغَرَ غَالِبًا“Hadats dimutlakkan kepada makna segala keadaan yang mewajibkan wudhu dan dan mandi. Disebutkan oleh para ulama bahwa hadats itu terbagi menjadi hadats akbar dan hadats ashghar. Dan jika dimutlakkan, yang dimaksud adalah hadats asghar“[4. Raudhatut Thalibin, 1/72].Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyyah disebutkanالحدَثُ اصطلاحًا وصفٌ قائمٌ بالبَدَنِ يمنَعُ مِنَ الصلاةِ ونحوِها، ممَّا تُشترَطُ له الطَّهارةُ“Hadats secara istilah maknanya suatu keadaan yang terjadi pada badan yang membuat seseorang terlarang untuk melakukan shalat dan ibadah lainnya yang disyaratkan harus dalam keadaan suci”[5. Sumber ulama membagi hadats menjadi 2 macam hadats akbar besar dan hadats asghar kecilينقسِمُ الحدَثُ إلى نَوعينِ النَّوع الأوَّل الحدَث الأصغرُ، وهو ما يجِبُ به الوضوءُ؛ كالبولِ، والغائطِ، وخروجِ الرِّيحِ. والنَّوع الثَّاني الحدَث الأكبر، وهو ما يجِبُ به الغُسلُ؛ كمَن جامَعَ أو أنزَلَ“Hadats terbagi menjadi 2 macamPertama hadats asghar. Yaitu segala yang mewajibkan wudhu, seperti buang air kecil, buang air besar dan buang hadats akbar. Yaitu yang mewajibkan mandi, seperti jima bersenggama atau keluar mani”[6. Idem].Dari sini bisa kita ketahui bahwa istilah hadats adalah suatu keadaan bukan suatu benda atau zat. Berbeda dengan najis yang merupakan benda atau wudhuNawaqidh adalah bentuk jamak dari naqid, yang secara bahasa artinya perusak. Sedangkan nawaqidhul wudhu secara istilah artinya hal-hal yang membatalkan dan merusak الوضوءِ اصطلاحًا مفسِداتُ الوُضوءِ، التي إذا طرَأَت عليه أفسَدَتْه“Nawaqidhul wudhu secara istilah artinya hal-hal yang merusak wudhu yang jika dilakukan maka batal wudhunya”[7. Lihat wudhu ditentukan berdasarkan dalil syar’i bukan akal atau perasaan. Dan jika seseorang sudah dalam keadaan suci setelah berwudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci hingga melakukan suatu hal yang berdasarkan dalil ia adalah pembatal wudhu. Sebagaimana kaidah ushuliyyahالأصل بقاء ما كان على ما كان“keadaan sesuatu yang ditetapkan sebelumnya, tetap berlaku sebagai hukum asal”Maka orang yang dalam keadaan suci, tetap berlaku kesuciannya sebagai hukum asal, hingga terdapat dalil yang menyatakan ia sudah tidak suci Mausu’ah Fiqhiyyah Al Muyassarah 1/117-126, Syaikh Husain Al Awaisyah hafizhahullah menyebutkan bahwa pembatal wudhu ada limaAl kharij min sabilain keluar sesuatu dari qubul dan dubur, baik berupa air seni, air besar feces, mani, madzi, darah istihadhah, atau farji kemaluan dengan syahwatMakan daging untaTidurDan semua nawaqidhul wudhu itu termasuk hadats asghar. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menyatakanأما الحدث الأصغر؛ فهو ما يوجب الوضوء؛ كالبول، والغائط، وسائر نواقض الوضوء“adapun hadats asghar, adalah semua yang mewajibkan wudhu, seperti buang air kecil, buang air besar, dan seluruh pembatal wudhu”[8. Sumber sini juga kita ketahui bahwa pembatal wudhu berbeda dengan najis. Dan jika seseorang terkena najis, wudhunya tidak menjadi batal, namun ia wajib membersihkan najis tersebut. Berbeda dengan hadats, karena diantara yang termasuk hadats adalah semua pembatal artinya kotoran, yaitu semua yang dianggap kotor atau tidak bersih oleh manusia; lawan kata dari bersih. Secara bahasa, qadzarah artinya sama dengan najasah najis. Kami sengaja sebutkan di sini agar pembaca memahami bahwa kotoran itu berbeda dengan najis, hadats dan pembatal wudhu dalam istilah syariat. Tidak semua yang dianggap kotor oleh manusia itu adalah najis, hadats dan membatalkan Fatwa menyatakanفالقذر اسم لما تعافه النفس وتكرهه نجساً كان أو غير نجس، فالقذر إذن أعم من النجس مطلقاً.“Al Qadzar adalah istilah untuk semua yang tidak disukai oleh jiwa, baik itu berupa najis ataupun bukan najis. Maka qadzar itu lebih umum dari najis”[9. Sumber hadats dan pembatal wudhu ditentukan berdasarkan dalil-dalil. Adapun kotoran secara umum, statusnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci dalam pandangan syariat. Kaidah fiqih mengatakanوالأصل في أشيائنا الطهارة *** والأرض والثياب والحجارة“hukum asal segala benda yang ada di bumi kita adalah suci, demikian juga tanah, pakaian dan batu”[10. Manzhumah Qawaid Fiqhiyyah As Sa’diyah].Maka kotoran dibagi menjadi duaKotoran yang bukan najis, semisal tanah, debu, noda makanan, noda cat, dan semisalnya. Statusnya asalnya suci dalam pandangan syariat, kecuali sudah tercampur dan didominasi oleh zat lain yang termasuk najis. Demikian juga terkena benda-benda tersebut bukan pembatal wudhu karena tidak terdapat dalil bahwa mereka dapat membatalkan wudhu. Maka tidak benar sikap sebagian orang yang merasa wudhunya batal karena ia menginjak yang merupakan najis, yaitu kotoran yang ditetapkan syariat sebagai najis, seperti kotoran manusia feces, air seni, madzi, bangkai, air liur anjing, babi, demikian, kotoran yang statusnya suci bukan najis dalam syariat, bukan berarti seorang Muslim bermudah-mudahan terhadapnya. Diantara adab yang baik bagi seorang Muslim adalah senantiasa menjaga kebersihan dan berpenampilan yang bagus. Bukan adab yang baik jika seorang Muslim berpenampilan kumal, kotor, pakaiannya penuh noda, rumahnya pun kotor, sampah berceceran, walaupun tidak terdapat najis. Ini bukan adab yang baik. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaإنَّ اللهَ جميلٌ يحبُّ الجمالَ “sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan” HR. Muslim.Wallahu a’lam.***Penulis Yulian PurnamaArtikel
Orangyang terkena najis atau ada pada dirinya najis sama ada pada badan atau pakaiannya disebut orang yang menanggung najis. Apabila dia hendak mengerjakan sembahyang, maka hendaklah terlebih dahulu dia menghilangkan najis tersebut dan menyucikan tempat yang terkena najis itu. , seperti pakaiannya terkena najis yang basah dan dia tidak
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID gCQyhugwOioRuea3zCdlMS771XLk-osxpTbmorAraD_oOBpRh_KZ0A==
Najismukhoffafah ialah: air kencingnya bayi laki - laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan dan minum kecuali air susu ibu. Cara mensucikan najis ini yaitu: menghilangkan wujudnya najis terlebih dahulu, dan setelah hilang kemudian memercikkan air diatas tempat yang terkena najis secara merata (seluruh tempat yang terkena najis).
Home Tips Sabtu, 10 Juni 2023 - 0719 WIBloading... Mazhab Maliki berargumentasi bahwa air mani itu najis karena asal muasal air mani adalah darah yang juga najis. Foto/Ilustrasi Ist A A A Apakah hukum air mani suci atau najis? Para ulama berbeda pendapat tentang status air mani, ada yang berpendapat itu tergolong benda yang najis dan ada yang berpendapat itu suci . Ustadz Isnan Ansory Lc dalam buku berjudul "Tiga Sumber Najis" menjelaskan, mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air mani tidaklah najis. Dalilnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang menyamakan air mani dengan dahak yang disepakati kesuciannya. عن ابن عباس قال سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن المني يصيب الثوب ، فقال إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو بإذخرةDari Ibnu Abbas ra , Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Nabi Muhammad SAW menjawab, "Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain." HR Baihaqi Baca Juga Ada juga hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra , bahwa ia mengerik bekas air mani yang telah kering. Rasulullah SAW lalu menggunakannya untuk sholat, sedangkan sisa-sisa maninya masih أفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيصلي فيه "Dari Aisyah ra bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau salat dengan mengenakan baju itu. HR. Bukhari dan Muslim.Sementara itu, Mazhab Hanafi , Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa status mani adalah najis. Dalil mereka adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau. كنت أغسل المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فيخرج إلى الصلاة، وأثر الغسل في ثوبه بقع الماء "Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk salat meski pun masih ada bekas pada bajunya.” HR Bukhari dan Muslim Baca Juga Dari Abu Hurairah tentang mani yang melekat pada pakaian. "Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya." HR Thahawi dalam Syarah Ma'ani al-'Atsar Pendapat al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra yang memandang bahwa air mani itu najis sebagaimana air kencing yang telah disepakati kenajisannya. Sedangkan mazhab Maliki berargumentasi bahwa air mani itu najis karena asal muasal air mani adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah perubahan wujud sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu darah yang najis. Baca Juga mhy mani atau sperma najis suci hadis nabi hukum islam Artikel Terkini More 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu
Pertama orang yang mengetahui bahawa pada pakaiannnya ada najis, namun dia terlupa dan masih tetap memakainya ketika solat. Kedua, orang yang syak atau was-was di dalam solatnya, adakah pada pakaiannya ada najis atau tidak. Ketiga, orang yang tidak tahu dan hanya menyedari pakaiannya terkena najis selepas dia selesai solat.
Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Apakah Terkena Najis Membatalkan Wudhu? selamat membaca. Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Apakah Terkena Najis Membatalkan Wudhu? selamat membaca. Pertanyaan Bismillah, afwan ustadz, saya izin bertanya. Berdasar materi fiqih sebelumnya, air kencing dan kotoran ayam itu suci krn ayam itu halal dimakan dagingnya. Nah, kalau kita terkena kotoran ayam, maka itu bisa langsung shalat atau kita cuci dulu sampai bersih? Maksud suci disitu apa ya? Apa maksudnya tidak membatalkan wudu? atau ada yang lain? Jazaakallahu khayran. Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam Jawaban Bismillah.. sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, ada perbedaan di dalam najisnya kotoran hewan apakah najis atau tidak. Bila menganggap bahwa kotoran tersebut tidak najis, pada dasarnya tidak mengapa bila menggunakan baju atau badan yang terkena kotoran tersebut. Namun walaupun begitu, bila memungkinkan untuk mencuci dan membersihkannya maka semestinya ia bersihkan terlebih dahulu, untuk menjaga kebersihan atau tidak mengganggu orang lain dengan kotoran tersebut dengan bau atau wujudnya atau dengan maksud menghormati orang lain yang mengatakan najisnya kotoran binatang tersebut. Dalil yang mengatakan kotoran tidak najis sebagaimana dalil berikut,” hadits dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari Ukel atau dari Uraynah, disebutkan dalam hadits, فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا “Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk meminum kencing dan susu dari unta perah.” HR. Bukhari, no. 233 Jika susu unta boleh diminum, maka kencingnya pula demikian dan itu disebutkan bersamaan dalam satu konteks. Kita ketahui bahwa unta adalah di antara hewan yang halal dimakan. Hadits ini jadi dalil dari ulama yang menyatakan sucinya kotoran atau kencing hewan yang halal dimakan. Ada hadits pula dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya mengenai hukum shalat di kandang kambing, صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ “Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan ketenangan.” HR. Abu Daud, no. 184 dan Ahmad, 4288. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih Imam Syafi’i menambahkan, kambing mendatangkan ketenangan dan keberkahan. Ketika ada yang shalat di kandang kambing, hewan itu tidak mengganggu dan tidak memutus shalat orang yang shalat. Dalam hadits ditunjukkan bolehnya shalat di kandang kambing dan tidak boleh shalat di kandang unta. Demikian disebutkan dalam Aun Al-Ma’bud, 1232. keterangan Umar bin Khatab ketika peristiwa perang Tabuk خَرَجْنَا إِلَى تَبُوكَ فِى قَيْظٍ شَدِيدٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً أَصَابَنَا فِيهِ عَطَشٌ حَتَّى ظَنَنَا أَنَّ رِقَابَنَا سَتَنْقَطِعُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْحَرُ بَعِيرَهُ فَيَعْصُرُ فَرْثَهُ فَيَشْرَبُهُ فَيَجْعَلُ مَا بَقِىَ عَلَى كَبِدِهِ Kami berangkat menuju tabuk dalam keadaan sangat serba kekurangan. Kemudian kami singgah di suatu tempat, dan kami sangat kehausan. Hingga kami menyangka leher kami akan putus. Hingga ada orang yang menyembelih ontanya, lalu dia memeras kotorannya dan meminumnya, sementara sisa perasannya ditaruh di atas perutnya. HR. Ibnu Hibban 1383, Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 20131, al-Bazzar dalam Musnadnya 215 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth. Apakah bila kita terkena najis akan membatalkan wudhu? Jawabnya tidak, terkena najis tidak membatalkan wudhu, sebagaimana yang dipelajari dari pembatal pembatal wudhu. Hanya saja ketika terkait dengan syarat sucinya pakaian atau tempat yang di pergunakan untuk melakukan shalat maka seseorang harus memperhatikan baju atau tempatnya ketika shalat. Bila sengaja memakai baju najis atau di tempat najis maka bisa membatalkan shalatnya. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله Jum’at, 15 Jumadil Awal 1444H / 9 Desember 2022 M Ustadz Mu’tashim Lc., Dewan konsultasi BimbinganIslam BIAS, alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., حفظه الله klik di sini Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 – 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 – 2012 Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syu’bah Takmili LIPIA, Syu’bah Lughoh Universitas Islam Madinah Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid Read Next 3 days ago Sudah Mandi Junub Tapi Masih Ada Kotoran Di Kuku 5 days ago Bolehkah Sebagai Dropshiper Mempunyai Dropshiper? 2 weeks ago Berwudhu Sebelum Tidur Saat Sedang Haid, Sia-Sia? 2 weeks ago Lebih Utama Mana, Aqiqah Atau Kurban Dahulu? 2 weeks ago Boleh Sholat Wajib Diatas Kendaraan? 2 weeks ago Begini Seharusnya Penuntut Ilmu Agama 2 weeks ago Susah Bangun Karena Sakit, Bolehkah Tayammum? 2 weeks ago Haruskah Mandi Ketika Masuk Islam? 3 weeks ago Apakah Sah Bersuci Dengan Tisu? 3 weeks ago Cara Tayammun Sesuai Syariat
Meskipunterdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak disyaratkan untuk mengalirkan air. Mayoritas ulama berpendapat bahwa air seni anak kecil adalah najis, oleh sebab itu syari' (Allah dan Rasulullah) memberikan keringanan pada proses penyuciannya.
Ragu-Ragu Terkena Sesuatu yang Najis, Bagaimana Hukumnya? Foto Berwudhu. Ilustrasi - Di antara keistimewaan Islam adalah bahwa agama ini datang untuk menghilangkan kesempitan dan kesusahan dari manusia. Isam tidak membebani seseorang untuk bertanya tentang kesucian atau kenajisan suatu benda apabila dia tidak mengetahuinya, hal ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu suci. Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjelaskan apabila seseorang terkena benda yang lembab pada malam hari tanpa mengetahui hakikatnya, maka dia tidak dibebani untuk mencium atau mengenali benda itu. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab melewati sebuah jalan pada suatu hari. Tiba-tiba dia kejatuhan sesuatu dari talang rumah. Ketika itu Sayyidina Umar ditemani oleh seorang rekannya. Rekan Sayyidina Umar itu berkata, "Wahai pemilik talang! Airmu ini suci atau najis?". Sayyidina Umar pun berkata, "Wahai pemilik talang, jangan beri tahu kami. Sungguh, kita telah dilarang untuk menyusahkan diri,". Begitu pula apabila seseorang terkena debu jalanan maka dia tetap suci dan tidak perlu menyusahkan dirinya sendiri. Dia telah dimaafkan karena hal ini menimpa semua orang. Kumail bin Ziyad berkata, "Aku melihat Sayyidina Ali berlumuran lumpur hujan, lalu dia masuk ke dalam masjid mengerjakan sholat tanpa mencuci kedua kakinya,". Abdullah bin Mas'ud berkata, "Kami dulu mengerjakan sholat bersama Nabi Muhammad SAW dan tidak berwudhu karena kotoran yang kami injak,". HR Thabrani. Abu Umamah berkata, "Rasulullah SAW tidak berwudhu karena kotoran yang beliau injak,". Artinya, beliau tidak mengulangi wudhu karena kaki beliau terkena kotoran. Dengan demikian, yang dimaksud di sini adalah wudhu yang dikenal dalam syariat. Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu secara etimologis, sehingga maknanya beliau tidak membasuk kaki beliau karena terkena debu jalanan dan sebagainya.
Apabilapakaian terkena najis, seperti kotoran manusia dan kencing, maka harus dibersihkan. Sedangkan kalau berhadats, mesti dengan berwudhu, mandi atau tayamum kala tidak ada air. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan.
Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Bila berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma dan lain sebagainya. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah shalat lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta Darul Kutub Islamiyah 2008], hal. 72. Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa فصل النجاسات ثلاث مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات Artinya“Fashal, najis ada tiga macam mughalladhah, mukhaffafah, dan mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.” Untuk lebih rincinya perihal apa saja yang termasuk barang najis—terutama najis mutawassithah—silakan baca artikel berjudul "Mengenal Barang-barang Najis menurut Fiqih". . Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu. Najis ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain najis ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis. Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut 1. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terlebih dulu ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum hukmiyah najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya. Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. 2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkan air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir. 3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air bisa cukup di area najis saja, dan sudah dianggap suci meski air menggenang atau meresap ke dalam. Selanjutnya kita bisa mengelapnya lagi agar lantai kering dan tak mengganggu orang. Mengetahui macam dan tata cara menyucikan najis adalah satu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap Muslim mengingat hal ini merupakan salah satu syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Wallahu a’lam. Yazid Muttaqin
- И ижጇ
- Ξሼхо гοቢեсту չዲфиμоц